Sepenggal lirih serangga malam
Tak hanya hadir saat mata terpejam. Ilusi menyerang tajam memangsa kejam, seperti peluru para pemburu yang menghujam. Adakah selumbar realita di lipatan - lipatan mimpi yang menyelipkan kegelapan ?
Aku adalah serangga malam di balik bebatuan kala hujan menabuh gemuruh riuh di permukaan bumi. Memendam rindu pada desir angin di selisik ilalang yang selalu membisikan rahasia tentang keheningan. Mana kenyataan dalam cinta yang mampu menjadi titian rasa untuk menyebrangi sunyi menuju kebahagiaan abadi ?
Kesendirian yang mulai meramu semua semu menjadi Siratan penat yang menjaring kekosangan dalam simpul mati memerangkapkan hati dalam penjara tanpa teralis. Sekitar menjadi bisu yang haru dan tak berdenyar. lalu, Kepedihan yang tak berkesudahan menyelisik tabir hidup yang melulu membuka medan di bentangan kelamnya jagat dan muramnya langit. Banyak yang di pertaruhkan disana, bahkan kesudian untuk menerima kebenaran yang sesungguhnya.
Kadang, aku ingin keluar dari kehidupan ini. Ketika pahit getirnya hidup tak mampu melahirkan puisi yang berpagut dalam rengkuhan larik - larik penuh dengan kedalaman filosofis. Huruf - hurufnya hanya meladeni keluh. Mesti mencoba merangkainya memakai gubahan kata apik dengan idiom - idiom terang dan putih, itu hanya senyum yang menyembunyikan pilu.Tak lebih.
Aku adalah serangga malam di bawah gulita jelaga yang menyembunyikan rembulan di balik jubahnya. Membekap rasa kangen pada cahayanya yang senantiasa mesra menatap debar jantungku. Tak ada lagi rupa warna kehidupan, hingga aku terjebak dalam kehampaan yang mengendap. Mana kenyataan dalam berbagi yang mendedahkan sejatinya kedamaian di reruntuk sepi ?
Lelah ku harus setia menanti kebeningan dimensi ruang dan waktu untuk menyenandungkan nyanyian yang mampu menyelinapi kuping - kuping semesta, tapi mereka hanya menganggap sebagai musik pengantar tidur. Lalu terlupakan saat fajar sempurna menyusupi pagi yang menggenggam hangat hati.
Bandung,
Tajali cinta
oleh Last Coccaine Dark Poetry pada 13 Desember 2009 jam 23:19
Kala cinta yang tapa, memahami jarak di jungkir tasawuf, waktu jadi batu.
Hanya risau rasa percaya tumbuh di selisik ilalang fikiran yang buntu
Ah, getah rindu yang syahdu, merekat di kedalaman kalbu
Sendiri, menjunam juntai di sembab bulan berwudu tempias butir embun malam.
Kekasih, Tuhan tak alakadarnya bikin cinta
Bahkan sekedar renyah ucap seiya-sekata dalam kandungnya
Sufi pun menjadi jenawi yang menghunus pada logika, ketika rasa itu membuka medan di wilayah ruh ilafi.
Jadi, sayang
Jangan asal sesal,hingga semua jadi bangsal.
Jangan luka menjadi batas dalam do'a yang tak tuntas.
Jangan esok kau ragu ketika seratus janji melagu.
Tak kau dengar senandung sungai di panasnya kemarau.
"Adakah,kesabaran yang tak di jawab-Nya?"
"Kasih Dia akan mengantakan harap melalui perguliran musim dan mengembalikanku pada fitrahnya".
last cocaine
bandung
Untaian kata yang tak pernah aku tulis untuk Tuhan
Dimeja, secarik kertas kosong itu seperti juga sajadah. Direntangkan ketepi malam, dimana dada memeram doa langsam meranum. Adalah cinta yang lama bersujud, meyakinkan segalanya akan terwujud.
Kopi dan rokok yang membebaskan kesendirian dari sepi, menyertai disetiap aku menulis. Slalu terisi penuh, melarutkan keluh panjang sebuah kalimat yang pekat tanya. Sampai nanti, pagi menjawab segala yang sebelumnya tak terpahami, dalam makna yang pajar.
Aku sudah menegguknya dilarik awal, ketika huruf - huruf mengoyak keheningan tanpa merusak ketenangan. Perlahan- lahan, memastikan agar tidak tersedak saat membaca bertapa munafiknya puisiku.
Kata – kata seperti hiruk dan hembusan nafas dari bibir yang mencoba mencari senyum, bila hanya tawa yang tertemu, akan kuretas kertas itu. Merobek ragu bahasa menjadi bagianbagian terpisah. Dan aku akan kembali merengkuh pena, bila ada alasan mengapa harus menulis.
Biarlah percaya menjaga untuk tetap jujur. Aku tak mau merasa asing di setiap untaian kata yang kubuat sendiri, sebab itu pula aku tak pernah membuat karya hanya karena aku mencintaiMu, Tuhan.
Tabir-Mu
entah'lah,apa gairah laknat yang salib,atau hanya candu menyingkap kebesaran-Mu.
Aku ingin tahu akan apa yang Tuhan tahu.
Tentang hakikat cinta, hidup bahkan keabadian itu.
Bukankah,dia yang tak memiliki lagi kepastian pada satu iman,
Aku ingin tahu akan apa yang Tuhan tahu.
Tentang hakikat cinta, hidup bahkan keabadian itu.
Bukankah,dia yang tak memiliki lagi kepastian pada satu iman,
seperti sepi yang bikin ruang jadi pedang.
Maka jadikan aku genderang,tabuh dengan notasi kasih yang tak rompang.
Aku tak ingin bersulang untuk sesuatu yang hilang.
Dengan tuak - tuak perang dalam pesta amarah yang meradang.
Aku tak ingin sebatas kira yang terlahir dari selintas wara.
Juga,buah renung yang mengembara dari sesisa kebenaran yang bersuara.
Dan,ku nikmati hati yang bergelora.
Pada-Mu, dengan cinta yang membara.
Last cocaine
bandung,
Maka jadikan aku genderang,tabuh dengan notasi kasih yang tak rompang.
Aku tak ingin bersulang untuk sesuatu yang hilang.
Dengan tuak - tuak perang dalam pesta amarah yang meradang.
Aku tak ingin sebatas kira yang terlahir dari selintas wara.
Juga,buah renung yang mengembara dari sesisa kebenaran yang bersuara.
Dan,ku nikmati hati yang bergelora.
Pada-Mu, dengan cinta yang membara.
Last cocaine
bandung,
Tutur cinta
Engkau seperti seorang penyepi yang setia pada malam. Meski, tak ada yang dapat aku hadirkan selain kegelapan yang membekap mimpi – mimpi, dia memelukku seolah pagi takan pernah datang.
“ Kekasih, mungkin aku bukan yang engkau harap. Pada fitrahnya alam slalu menanti pagi dengan seratus embun yang dapat menyegarkan ruangnya. kesejukanku hanya ada didalam tatapan angan, karena aku hanyalah malam” Kataku dengan nada sendu.
“ Kekasih, ketahuilah! Keheninganmu mengajariku tentang sebuah kebenaran, bahwa seharusnya bukan mencari hari untuk embun, tapi embun untuk hari. Maka, aku pun akan meraih kesegaran yang sempurna disepanjang waktu”
Kalimat itu membebaskan aku dari mendung yang kelamkan langitku, hingga membuatku mampu menghadirkan rembulan dan gemintang sebagai cahaya yang akan senantiasa menemani sepi jiwanya.
Bandung
SESAL
Ibu, aku baru sadar, ilusi itu kandang bagi elang yang tak punya hutan. Tempat dimana hanya bisa menatap kosong kearah bintang, mengurung sayap yang mestinya mengantar keluas langit. Bagai mencari ruang untuk bersembunyi dari pengawasan Tuhan, aku tak pernah menemukan kebebasan yang didamba.
Ibu, sebab itu aku tak pernah bertanya lagi tentang neraka? Aku sudah mempelajarinya ditempat dimana sekarang aku berdiri; angin kehidupan slalu berhembus kencang dikelengangan ruangku. Membuat jiwaku menjadi samudra yang tak pernah tenang. Jika kau melihat ombak, itu adalah air mataku, tak pernah berhenti bergelombang dilautan duka.
Ibu, demi menggapai tawa dalam dimensi igauan, aku tlah menghianati cintamu. Begitu banyak yang harus aku tebus. Dosa yang teramat besar, dengan cara apa agar aku bisa mendapatkan pengampunan? Kakimu akan basah oleh tangisanku yang bersujud, tapi itu tak pernah cukup untuk membersihkan penyesalan.
Ibu, maafkan anakmu; Elang dengan sepasang sayap yang ragu. Jika aku bisa terbang kembali, entah akan pergi untuk hinggap dipelukanmu, atau melayang untuk menjatuhkan diri dari ketinggian.
Sesudah engkau pergi, aku slalu mengingatmu saat menikmati kopi. Setiap kenangan kita tak mudah larut bersama caffeine yang kuseduh dalam cangki. Padahal, aku ingin segera minum dan membuang ampasnya kerealita. Lalu melupakan dan dilupakan, secepat peluru terantuk dan meletus setelah menekan picu bedil.
Kapan kau bisa lagi menuangkan kopi untuk menemaniku menulis sebuah puisi yang menyingkap arti kehadiranmu? Secangkir saja, sebelum aku raih pena dan secarik kertas demi mendapatkan kembali sepotong kenangan yang telah direbut waktu dan harkat rasa yang hilang dalam ruang.
Tanpamu, setiap tegukannya hanya ada rasa pahit dari sebuah pilihan untuk menjadi seseorang yang kalah dengan ketidak-berartian. Kembalilah! Jangan biarkan aku sendiri, melewati perjalanan malam yang disesaki kelam. Dalam penantian tanpa tepi, memadamkan hari – hari.
Bandung,
SOSOK remang
Tuhan perang, benarkah itu Engkau? Wajah itu
yang mereka tunjukan pada dunia. Bertapa aku
tak bisa mengenalimu lagi. Dalam iman yang
dimiliki dan kesunyian, ku seperti pohon badam
yang ranggas digerus gersang gurun, tumbang
diatas tanah yang menumbuhkanya, lalu rabuk
sendiri.
Sebab Engkau yang slalu ada dalam segala sesuatu
dan waktu, begitu tanpa batas definisi dan identitas.
Jiwa yang ragu, membayangkanMu sesuai dengan
keinginan sendiri, hingga Kau semakin terselubung
dan tak terpahami.
Dewa para tentara, itukah Engkau? Yang slalu
menginginkan aku kuat dalam hasratMu, untuk
mencari kebenaran dalam kesejatian, bukan dari
sesuatu yang kasat.
Mengapa sosokMu begitu banyak tafsir, begitu
banyak makna, bahkan sebatas terkaan? sehingga
proses pemikiran rasional berpencaran keberbagai
kutub arah berbeda. Adalah perpecahan, alamat
manusia menuju dengan parang yang erat ditangan,
dan keyakinan yang patuh dihati.
Panggeran tirani, apakah itu juga Engkau? Zat yang
sama ketika aku temui dalam kesyahduan disetiap
qiyam, rukuk, sujud, dan doadoa yang mengiringinya.
Aku kira Engkau hanya memberikan cahaya saja, supaya
kehidupan manusia terang, meski bila tanpa mentari.
Maaf, aku banyak bertanya! Sebab percaya, maka aku
mencari kepastian. Bukankah tak kenal maka tak sayang.
Laila, jauh kedalam sorot matamu; Menjelma neon yang mirip dengan yang bergantung dilangit– langit kamar kosan kita dulu, slalu menyala dipuncak keterjagaan malam. Cahayanya membentang dan merentang ketempat dimana cinta beradu, menunggu untuk menjanjikan segalanya segera terlihat, kasat dipampang dan dipaparkan waktu.
Laila, sepasang mata neon itu yang mengajarkan aku memandang dunia dengan caraku sendiri. Bebas, tak pernah melacurkan sekenang rupa-warna yang tertangkap kepada mimpi yang tak berarti, dijual, digilir, dan diantre untuk melunasi hidup. Slalu terbuka dan setia mengawasi setiap jemari waktu melukiskan kemenangan yang aku dan kau impikan: sebentuk terik mentari yang membakar pengapnya dendam di jalan- jalan yang becek oleh peluh para penjudi nasib, atau serupa sinaran rembulan yang menemani para filsuf mempuitiskan inspirasi – inspirasi mistiknya.
Laila, aku menyukai cara matamu menatap. Memang tak ada yang sejatinya indah didunia ini ~untuk mataku, matamu, juga mata mereka ~ tapi jangan kau pejamkan! Karena neon yang padam ciptakan ruang semati kubur. Slalu berbinar untuku, mesti kerap dibasah dan dibasuh air tangis! sebab gelap bikin batas – batas menjadi tak pasti dan tak mutlak lagi. Aku tak mau mencarimu, bersama harap yang membarangkalikan kau ada disudut sudut dinding yang mengurung dingin kegelisahanku… Seperti sekarang, seperti sekarang, engkau telah hilang.
PENDAM
Tuhan, ajarkan aku berbohong, agar bila ada dihadapan dia, aku masih bisa tersenyum, seperti sang waktu yang mencintai malam dan siangmu, dia terus berjalan mesti bulan dan matahari tak dapat menemaninya sepanjang hari. Melangkahi luka, yang dalam hitungan detik menambah duka.
Tuhan, aku sekarang angin, tak mencoba merebah angkasa, biar dibumi asal bisa menjadi nafas kehidupan. Tak lebih, hanya untuk menemaninya minum kopi hingga mencoba bikin cemburu Engkau yang slalu sendiri, atau sekedar menatap langit sampai kita menjadi sepasang gemintang yang berdenyar diujung hari yang gemerlap, itu sudah cukup.
Tuhan, Engkau slalu menyimpan tanya agar kita tak saling bicara. Mungkin bosan mendengar aku mengeluh, tentang perempuan yang menjadi bara dan berjelaga dalam kerinduanku. Tapi, aku mohon jawab sekali saja! Ada pertanyaan yang tersembul bagai suara yang bermimpi menjadi sebuah nyanyian; seperti inikah cinta? Aku merasa benar ketika harus membuatnya percaya dengan kebohonganku.
Bandung, 24 desember 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar